Buah dari Mulut yang Benar
Amsal 13:2
Dari buah mulutnya seseorang akan menikmati yang baik, tetapi nafsu orang yang curang ialah melakukan kelaliman.
Kata-kata adalah benih kehidupan. Setiap kali kita berbicara, kita sedang
menabur sesuatu — entah kebaikan, kejujuran, penghiburan, atau sebaliknya,
kebohongan, amarah, dan luka. Amsal 13:2
mengingatkan bahwa ada “buah” yang keluar dari mulut kita, dan buah itu
menentukan apa yang akan kita nikmati kelak.
Orang yang bijak akan menikmati yang baik dari perkataannya, sebab ucapan yang keluar dari hati yang bersih selalu membawa damai.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melihat kebenaran ayat ini. Seorang yang murah hati dalam perkataannya — yang meneguhkan, memuji dengan tulus, memberi arahan dengan lembut — biasanya dikelilingi oleh hubungan yang sehat. Ia menanamkan kepercayaan dan kasih di sekitarnya.
Sebaliknya, seseorang yang suka berbohong, bergosip, atau berkata kasar akan menuai akibatnya. Ia kehilangan hormat, kehilangan teman, bahkan kehilangan damai di hatinya sendiri. Karena itu, buah dari mulut kita tidak pernah berhenti pada telinga orang lain — ia akan kembali kepada kita, entah dalam bentuk berkat, atau dalam bentuk penyesalan.
Perkataan yang baik tidak berarti selalu manis. Kadang justru kebenaran yang diucapkan dengan kasih menjadi buah yang paling baik, meskipun awalnya terasa pahit. Seorang sahabat sejati tidak akan diam melihat kita berjalan ke arah yang salah; ia akan menegur dengan kasih.
Maka: Orang bijak tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam, karena ia sadar setiap kata punya kekuatan.
Sebaliknya, bagian kedua dari ayat ini menunjukkan kontras yang tajam. “Nafsu orang yang curang ialah melakukan kelaliman.” Orang yang curang bukan sekadar salah bicara; ia salah hati. Ia tidak sekadar menggunakan kata untuk menipu, tetapi keinginannya memang mencintai kekerasan, menipu demi keuntungan, dan menikmati ketidakadilan. Hatinya tidak lagi mencari kebenaran, melainkan kepuasan dari dosa. Kata-katanya adalah pantulan dari keinginan yang rusak.
Di zaman modern ini, ketika kata-kata menyebar begitu cepat melalui media sosial, prinsip ini menjadi semakin penting. Satu kalimat yang diucapkan tanpa hikmat bisa menyulut kebencian, menghancurkan reputasi, atau menanam ketakutan. Namun satu kalimat penuh kasih juga bisa mengubah hari seseorang, menenangkan hati yang gelisah, atau memulihkan semangat yang patah.
Maka, hikmat Amsal 13:2 mengajak kita untuk memperlakukan kata-kata seperti benih kehidupan. Taburkanlah kata yang jujur, lembut, dan penuh kasih, agar kita menikmati buah yang baik di kemudian hari.
Yesus sendiri mengajarkan bahwa “dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka” (Matius 7:16). Dan Ia juga berkata, “Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati” (Matius 12:34). Dengan demikian, buah mulut kita adalah cermin dari isi hati kita. Jika hati kita dipenuhi kasih, pengampunan, dan kebenaran, maka yang keluar pun akan membangun. Tetapi jika hati dikuasai iri, kebencian, atau keserakahan, maka kata-kata kita pun akan mencerminkan hal itu.
Maka renungan hari ini menantang kita untuk memperhatikan bukan hanya apa yang kita ucapkan, tetapi juga dari mana ucapan itu lahir. Jika hati kita diisi dengan firman Tuhan, maka kata-kata kita akan menjadi alat berkat. Tetapi jika hati kita diisi oleh kemarahan, maka kata-kata kita menjadi senjata yang melukai. Tuhan memanggil kita untuk menjadi orang yang menabur kebaikan melalui perkataan, karena dari sanalah kita akan “menikmati yang baik” — damai, sukacita, dan relasi yang sehat.
Setiap pagi, sebelum kita berbicara kepada orang lain, biarlah kita berbicara terlebih dahulu kepada Tuhan.
Biarlah hati kita diselaraskan dengan kasih-Nya, agar setiap kata yang keluar dari mulut kita hari ini menjadi buah yang manis bagi orang lain dan bagi diri kita sendiri.
Integritas adalah batu timbangan
yang membuat hidup kita berkenan di hadapan Tuhan.
