Keadilan Tidak Diperdagangkan

Keadilan Tidak Diperdagangkan



Amsal 18:5

Tidak baik berpihak kepada orang fasik dan menolak orang benar dalam pengadilan.




Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada situasi yang menuntut kita membuat keputusan—kadang kecil, kadang besar, kadang sederhana, kadang penuh tekanan.  Dua kata yang memegang peran penting dalam setiap keputusan adalah keadilan dan integritas.  Kedua hal ini tidak selalu mudah dijaga, terutama ketika kita berhadapan dengan orang-orang yang memiliki pengaruh, kedudukan, atau kedekatan emosional dengan kita.

Amsal 18:5 mengingatkan bahwa “tidak baik berpihak kepada orang fasik dan menolak orang benar dalam pengadilan.”  Ayat ini bukan sekadar bicara tentang ruang sidang dengan hakim dan palu di tangan, tetapi tentang ruang-ruang kehidupan di mana keputusan dibuat setiap hari.  Setiap kali kita diberi kesempatan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah, kita sedang “menggelar pengadilan” di dalam hati.

Ketika Amsal menyebut “orang fasik,” itu menunjuk pada seseorang yang hidup tanpa hormat kepada Tuhan, tidak peduli pada kebenaran, dan siap memanipulasi keadaan untuk keuntungan dirinya.  Tetapi anehnya, orang fasik sering kali tampak kuat dan berpengaruh. Mereka punya sesuatu yang bisa diberikan—dukungan, relasi, keuntungan materi, atau sekadar merasa aman ketika berada di pihak mereka.  Karena itulah, berpihak kepada mereka bisa tampak menguntungkan secara jangka pendek.

Namun Amsal menegaskan bahwa tindakan itu “tidak baik.”  Tidak baik bukan hanya karena salah secara moral, tetapi karena itu menghancurkan fondasi masyarakat, keluarga, pelayanan, dan relasi.  

Ketika kita memihak kepada orang fasik, kita sedang memberi ruang bagi ketidakadilan untuk bertumbuh.  Kita sedang membiarkan sesuatu yang tidak seharusnya hidup menjadi kuat.

Di sisi lain, menolak orang benar adalah tindakan yang menyakitkan hati Tuhan.  Orang benar dalam Amsal bukan berarti orang yang sempurna, tetapi mereka yang berusaha hidup seturut jalan Tuhan.  

Ketika mereka diperlakukan tidak adil, Tuhan sendiri menyatakan keprihatinan.  Ia berdiri dekat dengan mereka, membela mereka, dan mendengarkan seruan mereka.  Maka ketika kita menolak orang benar dalam keputusan yang kita buat—karena tekanan, karena takut, karena ingin diterima lingkungan tertentu—kita sedang menempatkan diri dalam posisi yang berlawanan dengan hati Tuhan.

Di dunia kerja, misalnya, kita bisa tergoda berpihak pada rekan yang kuat meski perilakunya merugikan orang lain.  Dalam pelayanan, kita bisa memihak seseorang karena kedekatan atau posisi, bukan karena kebenaran.  Dalam keluarga, kita bisa memberi toleransi lebih kepada anak atau anggota tertentu meski jelas mereka salah, hanya karena kita tidak ingin menimbulkan konflik.  

Setiap kompromi kecil terhadap keadilan sebenarnya sedang membuka pintu bagi ketidakbenaran untuk bertumbuh besar.

Namun ayat ini juga mengundang kita untuk bertanya dengan jujur: Apakah kita pernah menjadi pihak yang menyimpang dari keadilan?  Mungkin bukan dalam hal-hal besar seperti kasus hukum, tetapi dalam hal-hal kecil yang tidak kalah penting: cara kita menilai orang lain, cara kita berbicara tentang seseorang, keputusan-keputusan internal yang tidak dilihat siapa pun.  

Integritas yang sejati bukan hanya tampak pada keputusan publik, tetapi justru pada keputusan tersembunyi.

Kabar baiknya adalah Tuhan sendiri adalah sumber keadilan.  Ketika kita merasa lelah untuk bersikap adil, ketika kebenaran terasa mahal, atau ketika kita takut menjadi sendiri jika tidak ikut arus, Tuhan berkata: Tetaplah berdiri di pihak-Ku.  Keadilan-Nya bukan hanya tuntutan, tetapi juga perlindungan.  Ia memelihara mereka yang memilih untuk berdiri pada kebenaran meski jalannya tidak mudah.

Di tengah dunia yang sering mempertukarkan kebenaran demi kenyamanan, Amsal 18:5 memanggil kita untuk menjadi orang yang hatinya lurus.  Orang yang tidak mudah dibeli oleh kepentingan apa pun.  Orang yang keputusannya konsisten, tidak berubah karena tekanan. Orang yang mencerminkan karakter Tuhan, Sang Hakim yang adil.

Kiranya hari ini kita belajar mengambil keputusan dengan hati yang jernih—bukan berdasarkan siapa yang lebih kuat, siapa yang lebih dekat, atau siapa yang lebih menguntungkan, tetapi berdasarkan apa yang benar di hadapan Tuhan.  Keadilan tidak pernah salah jalur ketika kita berjalan di bawah terang-Nya.  Dan integritas kita, sekecil apa pun, selalu bernilai besar di mata-Nya.

Ketika kita merasa lelah untuk bersikap adil, ketika kebenaran terasa mahal, atau ketika kita takut menjadi sendiri jika tidak ikut arus, Tuhan berkata: Tetaplah berdiri di pihak-Ku.

Lukas Onggo Wijaya

A Happy learner, a happy reader, and a happy writer

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Recent in Technology