Warisan Bagi yang Setia
Amsal 17:2
Hamba yang berakal budi akan berkuasa atas anak yang membuat malu, dan ia akan mendapat bagian warisan bersama-sama dengan saudara-saudaranya.
Tidak semua orang memulai hidup dari posisi yang sama. Ada yang lahir sebagai ahli waris, memiliki
fasilitas, peluang, dan dukungan. Ada
pula yang memulai dari posisi rendah, tanpa banyak keistimewaan. Namun Amsal
17:2 mengingatkan kita akan satu prinsip ilahi yang melampaui struktur sosial
manusia:
Kebijaksanaan, karakter, dan integritas pada akhirnya membuka jalan yang tidak bisa dibuka oleh status lahiriah.
Gambaran “hamba yang berakal budi” dalam ayat ini memberi kita sosok seseorang yang tidak memiliki hak istimewa secara sosial. Ia bukan bagian dari keluarga besar, tidak memiliki garis keturunan yang diperhitungkan, dan tidak termasuk pewaris sah. Namun ia memiliki sesuatu yang jauh lebih berharga: karakter yang kuat, kecakapan mengelola tanggung jawab, dan kebijaksanaan untuk hidup benar.
Dalam dunia modern, kita bisa melihatnya sebagai seseorang yang memulai karier dari posisi rendah, mungkin tanpa gelar tinggi atau jaringan luas, tetapi ia bekerja dengan hati, jujur, bertanggung jawab, dan dapat dipercaya.
Sebaliknya, Amsal menyebut “anak yang membuat malu”. Anak ini seharusnya menjadi kebanggaan orang tua. Ia seharusnya berada di posisi yang aman secara sosial dan ekonomis. Namun ia menghancurkan kepercayaan itu dengan cara hidupnya sendiri: malas, tidak bermoral, tidak bertanggung jawab, atau tidak setia. Ia memiliki kedudukan, tetapi tidak memiliki karakter untuk menopangnya.
Ayat ini mengingatkan kita bahwa:
Status tanpa integritas hanya mempercepat kejatuhan,
sedangkan kerendahan tanpa hikmat pun tidak membawa kemajuan, tetapi kerendahan
yang disertai hikmat membuat seseorang layak dipercaya, bahkan layak menerima
peninggian.
Seringkali kita berpikir bahwa peninggian datang hanya kepada mereka yang memiliki kesempatan besar sejak awal. Kita lupa bahwa Tuhan sering bekerja melalui jalur yang tidak diduga. Dalam banyak kisah Alkitab, Tuhan mengangkat mereka yang sederhana: Yusuf yang dijual sebagai budak tetapi kemudian menjadi penguasa kedua di Mesir; Daniel yang ditawan ke Babilonia namun berpengaruh di istana; Ester yang yatim piatu tetapi kemudian menjadi ratu.
Pola Tuhan tidak pernah berubah: Ia memuliakan mereka yang berhikmat, bukan mereka yang hanya memiliki posisi.
Renungan ini menantang kita untuk bertanya pada diri sendiri: apakah kita sedang membangun karakter yang dapat dipercaya, atau hanya mengandalkan posisi, pengalaman masa lalu, atau gelar kita? Apakah kita menjadi orang yang dapat Tuhan percayai untuk memegang tanggung jawab yang lebih besar? Kebijaksanaan bukan sekadar pengetahuan, tetapi kemampuan mengaplikasikan kebenaran Tuhan secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari. Dua spasi setelah titik.
Ini juga memberi penghiburan besar bagi mereka yang merasa memulai dari bawah atau merasa tidak dianggap. Tuhan melihat hati. Tuhan melihat kesetiaan. Tuhan melihat kejujuran kecil di tempat tersembunyi. Ketika kita hidup dalam hikmat Tuhan, pintu yang tampaknya tertutup dapat terbuka dengan cara yang tidak pernah kita duga. Bahkan Anda bisa menjadi seperti “hamba berakal budi” itu—tidak peduli dari mana Anda memulai, Tuhan dapat membawa Anda ke posisi pengaruh, otoritas, dan kepercayaan.
Pada akhirnya, ayat ini memanggil kita untuk membangun kehidupan yang Allah hormati—kehidupan yang tidak bergantung pada warisan, tetapi pada hikmat; tidak bergantung pada status, tetapi pada kesetiaan; tidak bertumpu pada nama keluarga, tetapi pada karakter yang dibentuk oleh Tuhan.
Karakter yang berhikmat membuka pintu yang tidak bisa dibuka oleh kedudukan.
