Setia dalam kata

Setia Dalam Kata



Amsal 14:5

Saksi yang setia tidak berbohong, tetapi siapa menyembur-nyemburkan kebohongan, adalah saksi dusta.




Setiap hari, tanpa kita sadari, kita selalu menjadi saksi bagi sesuatu. Kita memberi kesaksian tentang karakter kita melalui kata-kata yang keluar dari mulut kita.  Kita memberi kesaksian tentang nilai-nilai kita melalui apa yang kita pilih untuk ceritakan, diamkan, atau sebarkan.  Bahkan tanpa berdiri di ruang sidang, kita sedang memberikan “kesaksian” kepada keluarga, teman, rekan kerja, dan dunia sekitar.

Karena itu, Amsal 14:5 bukan hanya berbicara tentang seorang saksi dalam konteks hukum, tetapi tentang setiap orang yang mengeluarkan kata-kata yang berdampak.

Ayat ini membuka dengan karakter yang indah: “Saksi yang setia tidak berdusta.”  Kata setia menyiratkan seseorang yang hidupnya konsisten—yang kata-katanya bisa dipercaya karena karakternya teguh. Ia tidak perlu mengubah-ubah cerita untuk menutupi kesalahan.  Ia tidak perlu memoles fakta untuk menyenangkan orang.  Ia tidak perlu memodifikasi kenyataan agar tampak lebih baik, lebih hebat, atau lebih benar daripada yang sebenarnya.

Kesetiaan dalam berbicara bukanlah sesuatu yang terjadi secara instan; itu adalah buah dari hati yang jujur, rendah hati, dan takut akan Tuhan.

Sebaliknya, “saksi dusta menyemburkan kebohongan.”  Saksi dusta digambarkan sebagai seseorang yang tidak dapat menahan lidahnya dari menabur ketidakbenaran.  Kebohongan itu “disemburkan”—seakan-akan tidak ada rem.  Gambarannya seperti air panas yang menyembur dari panci mendidih: tak terkendali, berantakan, dan berbahaya.  Ketika seseorang terbiasa menggunakan kebohongan sebagai cara berkomunikasi, ia akhirnya kehilangan kepekaan terhadap kebenaran.  Kebohongan menjadi respons alami, bukan lagi kecelakaan yang sesekali terjadi.

Dalam kehidupan modern, kebohongan tidak hanya diucapkan secara verbal.  Ia bisa disebarkan lewat pesan yang diteruskan tanpa verifikasi.  Ia bisa muncul melalui cerita yang dilebihkan agar lebih dramatis.  Ia bisa hadir dalam bentuk manipulasi fakta untuk mendapatkan simpati atau keuntungan.  Di media sosial, kita bahkan bisa menjadi “saksi dusta” tanpa bermaksud demikian—ketika kita menyebarkan sesuatu yang tidak kita pastikan keabsahannya.  

Kita mungkin tidak menganggapnya sebagai kebohongan, tetapi Alkitab mendorong kita untuk jujur bukan hanya pada apa yang kita ketahui, tetapi juga pada apa yang kita tidak ketahui.

Amsal ini menantang kita untuk melihat lebih dalam: Apakah kata-kata kita bisa dipercaya? Apakah orang-orang di sekitar merasa aman ketika kita berbicara? Apakah kita dikenal sebagai seseorang yang adil, akurat, dan tidak terburu-buru bereaksi?  Kesetiaan dalam berkata-kata adalah bagian dari kesaksian kita sebagai orang percaya.  Tuhan memanggil kita untuk menjadi terang—dan terang itu salah satunya bersinar melalui integritas dalam berbicara.

Menjadi saksi yang setia berarti berani berkata benar meskipun tidak nyaman.  Berani mengakui kesalahan ketika kita salah.  Berani berkata, “Saya tidak tahu,” ketika kita memang tidak tahu. Berani menjaga rahasia orang lain meski menggoda untuk membagikannya.  Berani menahan komentar ketika komentar itu tidak membangun.  Hidup dalam kesetiaan seperti ini menghasilkan ketenangan hati, karena tidak ada beban untuk mengingat apa yang pernah kita tutupi atau tipu.

Sebaliknya, kebohongan akan selalu membawa beban. Kita harus mengingat kebohongan sebelumnya supaya tidak ketahuan.  Kita harus terus memperpanjang cerita palsu agar tetap konsisten.  Kita harus berjaga-jaga setiap kali ada orang lain yang tahu kebenaran sebenarnya. Itulah sebabnya Alkitab menegaskan bahwa saksi dusta “menyemburkan” kebohongan—karena kebohongan jarang berdiri sendiri; ia membutuhkan kebohongan lain untuk menopangnya.

Tuhan memanggil kita untuk hidup sebagai saksi yang setia, bukan hanya karena itu baik bagi orang lain, tetapi karena itu memerdekakan kita. Ketika kita memilih kebenaran, hidup kita menjadi ringan.  Hati kita menjadi bersih. Dan kesaksian kita—baik di hadapan manusia maupun Tuhan—menjadi murni.

Kesetiaan dalam berbicara bukanlah sesuatu yang terjadi secara instan; itu adalah buah dari hati yang jujur, rendah hati, dan takut akan Tuhan.

Lukas Onggo Wijaya

A Happy learner, a happy reader, and a happy writer

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Recent in Technology