Orang Baik Dikenan Tuhan
Amsal 12:2
Orang baik dikenan TUHAN, tetapi si penipu dihukum-Nya.
Ada sesuatu yang sangat menenangkan dalam kalimat pertama
Amsal ini: “Orang baik dikenan Tuhan.” Kalimat itu sederhana, tetapi mengandung janji
yang luar biasa—bahwa Tuhan berkenan kepada orang yang hidup dengan hati yang
baik. Dalam dunia yang sibuk dengan
pencapaian, pengakuan, dan hasil, kita mudah lupa bahwa yang paling berharga
bukanlah “siapa yang paling berhasil,” tetapi “siapa yang hidup dengan cara
yang benar.”
Tuhan berkenan bukan kepada orang yang paling cepat, paling pandai, atau paling berpengaruh, melainkan kepada orang yang hatinya berorientasi kepada kebaikan.
Orang seperti ini tidak selalu menjadi sorotan. Kadang mereka justru bekerja diam-diam, menolong tanpa pamrih, jujur dalam hal-hal kecil, dan setia dalam tanggung jawab yang tampak sepele. Namun justru di situlah Tuhan melihat dan berkenan.
Sebaliknya, dunia sering mengagumi orang yang “cerdik” — yang tahu cara memanipulasi keadaan demi keuntungan sendiri. Tetapi Amsal ini memberi peringatan keras: “Orang yang merancang kejahatan dihukum-Nya.” Kata “merancang” menyingkap bahwa kejahatan sering kali tidak lahir dari reaksi spontan, melainkan dari niat yang dipupuk diam-diam. Hati yang perlahan terbiasa menoleransi ketidakjujuran akhirnya menjadi ladang bagi rencana jahat.
Renungan ini menantang kita untuk bertanya: Apa yang sebenarnya saya rencanakan di dalam hati? Apakah saya sedang “merancang” sesuatu yang berkenan bagi Tuhan, ataukah secara halus menyusun cara agar kehendak saya sendiri tercapai—meski harus menyingkirkan orang lain?
Kita mungkin tidak pernah mencuri uang, tetapi bisa saja mencuri pujian. Kita mungkin tidak memfitnah secara terang-terangan, tetapi diam-diam berharap orang lain gagal agar kita tampak lebih unggul. Semua itu adalah bentuk “rancangan” yang tidak baik, dan Tuhan tidak berkenan di dalamnya.
Namun kabar baiknya adalah: Tuhan bukan hanya Hakim yang menilai, melainkan juga Bapa yang mau membentuk. Jika hari ini kita sadar bahwa hati kita pernah menyimpan rancangan yang keliru, masih ada kesempatan untuk memperbaikinya. Tuhan senang melihat hati yang mau kembali pada kebaikan.
Menjadi “orang baik” bukan soal menjadi sempurna, melainkan soal memilih kebaikan berulang kali, bahkan ketika tidak ada yang melihat.
Ketika kita merencanakan kebaikan—meski sederhana, seperti menolong seseorang, berkata jujur, atau mengampuni—kita sedang menulis sebuah rancangan yang berkenan di hadapan Allah.
Di akhir hari, yang Tuhan cari bukanlah strategi besar, melainkan hati yang bersih. Hati yang jujur kepada-Nya lebih berharga daripada keberhasilan yang dicapai dengan tipu daya. Dan ketika Tuhan berkenan, hidup kita akan dipenuhi damai yang tidak dapat diberikan oleh dunia.
Hiduplah dengan niat yang baik. Rancanglah setiap hari dengan kasih, kebenaran, dan integritas. Sebab Tuhan bukan hanya memperhatikan apa yang kita lakukan, tetapi juga mengapa kita melakukannya. Dan di situlah berkat sejati ditemukan—dalam hati yang berkenan kepada-Nya.
Tuhan berkenan bukan pada keberhasilan yang licik,
tetapi pada hati yang merencanakan kebaikan.
