Mengenakan Kalung Kasih dan Setia

 Mengenakan Kalung Kasih dan Setia




Amsal 3:3-4

"Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau! Kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu, maka engkau akan mendapat kasih dan penghargaan dalam pandangan Allah serta manusia."



Dalam dunia yang serba cepat dan kompetitif seperti sekarang, banyak orang mengukur keberhasilan hidup dari hal-hal yang tampak di luar: jabatan, kekayaan, pengaruh, atau popularitas.  Namun, firman Tuhan melalui Amsal 3:3–4 mengingatkan kita bahwa nilai sejati kehidupan tidak terletak pada apa yang kita miliki, tetapi pada siapa kita di dalam hati. 

Tuhan menyoroti dua kualitas yang menjadi fondasi karakter orang benar—kasih dan setia.

Kata “kasih” di sini berasal dari kata Ibrani hesed, yang berarti kasih setia, belas kasihan, dan kebaikan yang tidak bersyarat.  Ini bukan sekadar perasaan lembut, tetapi komitmen untuk terus mengasihi, bahkan ketika tidak mudah. 

Sedangkan kata “setia” berasal dari ’emet, yang berarti kebenaran, keteguhan, dan kejujuran.  Jadi, kasih berbicara tentang hati yang lembut, sementara kesetiaan berbicara tentang hati yang teguh.  Keduanya saling melengkapi—tanpa kasih, kesetiaan menjadi kaku; tanpa kesetiaan, kasih menjadi rapuh.

Salomo tidak hanya berkata, “miliki kasih dan setia,” tetapi “jangan biarkan keduanya meninggalkan engkau.”  Artinya, kasih dan setia bukan sekadar sifat sementara yang muncul saat kita ingin terlihat baik, melainkan nilai yang harus melekat dan menetap di dalam hidup kita.  Ia bahkan menambahkan dua perintah simbolik: “kalungkanlah itu pada lehermu” dan “tuliskanlah itu pada loh hatimu.”

Mengalungkan berarti menjadikan kasih dan setia terlihat dalam tindakan nyata—terpancar melalui kata-kata, sikap, dan perbuatan.  Menuliskannya di loh hati berarti membiarkannya berakar di dalam batin, menjadi bagian dari identitas terdalam kita.

Sayangnya, di dunia yang keras ini, tidak sedikit orang yang menukar kasih dan kesetiaan dengan keuntungan pribadi. 

Ada yang setia tanpa kasih—ia terus melakukan kewajiban, tetapi tanpa kelembutan, tanpa hati.  Dalam pernikahan, ini terlihat pada pasangan yang tetap bersama tetapi tidak lagi saling menghargai; setia secara status, tetapi tidak penuh kasih dalam sikap.  Dalam pekerjaan, ini terlihat pada orang yang selalu hadir dan disiplin, namun bekerja tanpa hati, tanpa belas kasihan terhadap rekan yang kesulitan.  Dalam pelayanan, ini tampak pada orang yang tetap aktif, tetapi kehilangan kasih terhadap orang yang dilayani.  Kesetiaan tanpa kasih menjadikan kita keras, dingin, dan kehilangan sukacita.

Namun, sebaliknya, kasih tanpa kesetiaan juga berbahaya. Banyak orang mudah tersentuh dan bersemangat untuk menolong, tetapi cepat menyerah ketika keadaan sulit.  Ia mengasihi hanya ketika suasana hati baik, tetapi tidak bertahan ketika kasih itu menuntut pengorbanan.  

Kasih tanpa kesetiaan menghasilkan kepedulian yang tidak bertanggung jawab, sementara kesetiaan tanpa kasih menghasilkan keteguhan tanpa empati. 

Tuhan menghendaki keduanya hadir dalam keseimbangan yang indah.

Ketika kasih dan setia benar-benar melekat di hati dan diwujudkan dalam hidup, janji Tuhan jelas: kita akan mendapat kasih dan penghargaan di hadapan Allah dan manusia.  Kasih dan setia membuat kita berkenan di hadapan Tuhan, karena kita mencerminkan karakter-Nya sendiri.  Allah adalah kasih, dan kesetiaan-Nya kekal. Saat kita hidup dengan kasih dan setia, kita menjadi cerminan dari siapa Dia sesungguhnya.

Bukan hanya Allah yang berkenan, manusia pun akan menghargai kita.  Orang yang hidup dengan kasih dan setia selalu membawa kehangatan, ketulusan, dan rasa aman bagi orang lain.  Dalam keluarga, ia menjadi pribadi yang meneduhkan dan dapat diandalkan.  Dalam pekerjaan, ia dihormati karena kejujuran dan integritasnya.  Dalam pelayanan, ia dikasihi karena kerendahan hatinya. 

Orang seperti ini tidak hanya dihargai, tetapi juga meninggalkan jejak kasih di mana pun ia melangkah.

Hidup dengan kasih dan setia tidak berarti hidup tanpa tantangan.  Ada kalanya kita dikecewakan, disalahpahami, bahkan dilukai.  Namun justru di situlah kualitas kasih dan kesetiaan kita diuji.  Kasih yang sejati tidak berhenti ketika disakiti; kesetiaan yang sejati tidak goyah ketika tidak dihargai.  Tuhan melihat setiap langkah kecil yang kita ambil untuk tetap mengasihi dan setia, dan Dia berjanji untuk memperhitungkannya sebagai persembahan yang harum di hadapan-Nya.

Kiranya setiap hari kita belajar mengalungkan kasih dan setia di leher kita—biarlah dunia melihatnya dalam tindakan kita.  Dan kiranya kita menuliskannya di loh hati kita—biarlah Allah membacanya dalam kehidupan kita yang tulus dan konsisten.  Sebab hidup yang dipenuhi kasih dan setia bukan hanya indah di mata manusia, tetapi berharga di mata Tuhan.


Hidup menjadi berkat adalah hidup bukan mencari popularitas, tetapi hidup dengan integritas.


Lukas Onggo Wijaya

A Happy learner, a happy reader, and a happy writer

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Recent in Technology