Menjaga Lidah, Menjaga Hati
Amsal 4:24
Buanglah mulut serong dari padamu dan jauhkanlah bibir yang dolak-dalik dari padamu.
Betapa pentingnya kita menjaga perkataan. Perkataan bukanlah hal kecil yang bisa disepelekan, melainkan cermin dari hati kita. Apa yang mengalir dari mulut sesungguhnya bersumber dari apa yang kita simpan dalam hati. Itulah sebabnya, menjaga perkataan sejatinya berarti menjaga hati kita tetap murni di hadapan Allah.
Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa tidak ada kata yang benar-benar netral; setiap kata membawa kehidupan atau kematian, membawa penghiburan atau luka, membangun atau meruntuhkan. Karena itu, apa yang keluar dari bibir kita bukan hanya pantulan emosi sesaat, tetapi gambaran dari siapa kita sebenarnya di dalam.
Kita hidup di tengah dunia yang sudah sangat terbiasa dengan kebohongan kecil, basa-basi palsu, dan janji yang tidak ditepati. Banyak orang memutar kata demi menjaga citra, memanipulasi ucapan demi keuntungan pribadi, atau menutupi maksud hati dengan kalimat yang terdengar sopan dan manis.
Di dunia yang seperti ini, kejujuran tampak seperti kelemahan, sementara kepalsuan dianggap sebagai strategi cerdas.
Namun firman Tuhan menegaskan bahwa jalan hikmat tidak memberi ruang bagi mulut yang curang atau bibir yang berbelit-belit. Orang berhikmat akan memilih untuk berkata benar, sekalipun itu membuatnya tampak kalah, karena ia tahu bahwa integritas lebih berharga daripada penilaian dunia.
Perkataan yang dolak-dalik—ucapan yang manis di luar tetapi menyimpan maksud tersembunyi di dalam—seringkali jauh lebih berbahaya daripada dusta yang terang-terangan. Kata-kata seperti itu bisa merusak kepercayaan yang dibangun selama bertahun-tahun hanya dalam sekejap. Ia bisa menimbulkan luka yang tak terlihat namun sangat dalam.
Orang yang hidup dengan perkataan berbelit menipu bukan hanya orang lain, tetapi juga dirinya sendiri, karena setiap kali ia berbohong, hatinya menjadi semakin tumpul terhadap suara kebenaran. Tuhan memanggil kita untuk hidup dengan integritas—keutuhan antara hati, pikiran, dan ucapan—karena hanya dari hidup yang utuh dapat mengalir kata-kata yang membawa kehidupan.
Namun kita tahu, menjaga lidah bukanlah hal yang mudah. Lidah sering kali bergerak lebih cepat dari hati yang merenung.
Dalam emosi, kita bisa mengucapkan sesuatu yang melukai tanpa sadar. Dalam kesombongan, kita bisa memanipulasi kata untuk menonjolkan diri. Dalam ketakutan, kita bisa berbohong untuk melindungi diri. Semua ini mengingatkan kita bahwa masalah sebenarnya bukan di lidah, melainkan di hati. Hati yang tidak dijaga akan mengalirkan kata-kata yang mencerminkan kepahitan, iri hati, atau ambisi yang salah. Tetapi ketika hati dipenuhi oleh firman Tuhan, kasih, dan kebenaran, maka lidah pun akan menjadi alat yang membawa kehidupan.
Itulah sebabnya mengapa kita perlu terus mengizinkan firman Allah membersihkan batin kita. Firman Tuhan menegur, menuntun, dan menolong kita untuk menyadari betapa besar dampak dari setiap kata. Saat kita membiarkan Tuhan bekerja dalam hati, maka secara alami cara kita berbicara pun berubah. Kata-kata kita menjadi lebih lembut, jujur, dan penuh kasih. Kita mulai menyadari bahwa tujuan berbicara bukanlah untuk memenangkan perdebatan, tetapi untuk membangun orang lain.
Perkataan yang keluar dari hati yang diubahkan tidak lagi menjadi sumber luka, melainkan saluran penyembuhan bagi sesama.
Tuhan merindukan agar mulut kita menjadi saluran berkat. Bayangkan berapa banyak hati yang bisa dikuatkan lewat kata-kata penghiburan kita. Betapa banyak luka yang bisa disembuhkan lewat ucapan pengampunan yang tulus. Betapa banyak semangat yang bisa dibangkitkan lewat kata-kata dorongan yang penuh kasih.
Sebaliknya, pikirkan juga betapa besar kerusakan yang terjadi ketika mulut kita dibiarkan menjadi sumber gosip, fitnah, atau manipulasi. Lidah yang tidak dijaga dapat memadamkan damai, tetapi lidah yang dikuasai oleh kasih Kristus dapat menyalakan harapan.
Kiranya doa kita menjadi sama seperti doa Daud dalam Mazmur 19:15, “Kiranya perkataan mulutku dan renungan hatiku berkenan di hadapan-Mu, ya Tuhan.” Ketika setiap kata yang kita ucapkan lahir dari kesadaran bahwa Allah mendengar, maka kita akan lebih berhati-hati dalam berbicara. Kita akan menimbang setiap ucapan bukan hanya berdasarkan dampaknya bagi diri kita, tetapi juga bagi hati orang lain dan kemuliaan Tuhan.
Lidah yang dijaga dengan hati yang murni akan menjadi alat kesaksian yang indah, memancarkan terang Kristus di tengah dunia yang gelap oleh kepalsuan.
Menjaga lidah berarti menjaga hati, dan menjaga hati berarti hidup di bawah terang kasih Allah. Di sanalah perkataan kita menemukan maknanya—bukan sekadar rangkaian kata, melainkan pantulan kasih dan kebenaran yang hidup di dalam diri kita. Ketika hati dijaga, kata-kata pun akan membawa kehidupan, dan lewat kehidupan itu, dunia dapat melihat Kristus yang nyata.
“Kata manis yang berbelit, lebih tajam dari pedang dusta.”
