Mengakui Bodoh
Seringkali adalah yang Terbaik
Amsal 30:1-3
Perkataan Agur bin Yake dari Masa. Ia berkata kepada Itiel, kepada Itiel dan Ukal: “Sesungguhnya, aku ini lebih bodoh dari pada siapa pun juga, dan pengertian manusia tidak ada padaku. Juga tidak kupelajari hikmat, dan pengetahuan tentang Yang Mahakudus tidak kupunyai.”
Di dunia yang haus akan kepastian dan jawaban cepat, kata-kata Agur
terdengar seperti disonansi. “Aku ini lebih bodoh dari pada siapa pun juga,”
katanya dengan jujur. Bukankah
seharusnya seorang penulis hikmat berbicara dengan otoritas dan kepastian? Tetapi justru dari pengakuan inilah, hikmat
sejati lahir. Agur tidak berusaha tampil
bijak di mata manusia; ia justru menanggalkan segala pretensi pengetahuan dan
berdiri telanjang di hadapan Allah, menyadari betapa kecil dirinya di hadapan
Sang Pencipta.
Kita hidup di zaman informasi di mana pengetahuan ada di ujung jari. Kita bisa tahu banyak hal dalam sekejap, namun tidak berarti kita semakin bijak. Dunia memuja mereka yang “tahu segalanya,” sementara Alkitab memuji mereka yang mengakui “aku tidak tahu.”
Hikmat sejati bukanlah tentang seberapa banyak yang kita pahami, tetapi seberapa rendah hati kita di hadapan Tuhan.
Agur memberi contoh langka dari kerendahan hati rohani. Ia tidak berbicara seperti orang yang putus
asa, melainkan seperti seseorang yang menyadari betapa agungnya Allah dan
betapa terbatasnya manusia. Ia tahu
bahwa pengetahuan tentang “Yang Mahakudus” tidak bisa diperoleh hanya melalui
studi atau logika, melainkan melalui perjumpaan dan penyataan Allah sendiri. Dalam arti itu, pengakuan “aku tidak mengenal
Yang Mahakudus” bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan iman yang
sejati.
Sering kali, Tuhan menuntun kita melalui jalan kebingungan dan ketidaktahuan agar kita berhenti mengandalkan diri sendiri. Di saat kita merasa “tidak tahu apa-apa,” justru di sanalah ruang terbuka bagi hikmat Allah bekerja.
Kerendahan hati spiritual bukan berarti menolak berpikir, tetapi menyadari bahwa pikiran manusia tak akan pernah mencapai puncak gunung hikmat Allah. Paulus pun pernah berkata, “Jika ada seorang menyangka bahwa ia mempunyai hikmat di antara kamu dalam zaman ini, hendaklah ia menjadi bodoh supaya ia benar-benar berhikmat” (1 Korintus 3:18).
Mungkin hari ini engkau berada di titik di mana semua pengetahuanmu tidak memberi jawaban. Engkau telah berdoa, membaca, mencari, namun tetap tidak mengerti mengapa hal tertentu terjadi. Di situlah suara Agur berbicara lembut: “Aku tidak tahu, tetapi Allah tahu.” Pengakuan itu bukan kelemahan, melainkan kekuatan rohani yang menuntun kita untuk berserah.
Kerendahan hati seperti ini mengingatkan kita bahwa iman bukan sekadar tahu tentang Allah, tetapi mengenal Dia secara pribadi. Dan pengenalan itu tidak datang melalui rasa cukup, melainkan melalui rasa butuh.
Ketika hati kita terbuka dan mengakui, “Tuhan, aku tidak mengerti,” maka Tuhan berkata, “Sekarang Aku bisa mengajar engkau.” Sebab hanya hati yang kosong yang bisa diisi oleh hikmat surgawi.
Mungkin dunia akan menilai pengakuan seperti Agur sebagai kelemahan. Tetapi bagi orang yang mengenal Allah, itu adalah pintu menuju kekuatan. Sebab mereka yang rendah hati akan diangkat oleh Tuhan, dan mereka yang merasa cukup akan dibiarkan berjalan dalam kebodohan mereka sendiri.
Mari kita belajar dari Agur hari ini—bahwa jalan menuju hikmat sejati dimulai bukan dari kepandaian, melainkan dari pengakuan akan ketidaktahuan di hadapan Allah yang Mahakudus.
"Kerendahan hati membuka pintu
bagi hikmat sejati yang datang dari Allah."
