Ketika Hikmat Bertemu Kebodohan
Amsal 29:9
Jika orang bijak berbantah dengan orang bodoh, orang bodoh marah atau tertawa, tetapi tidak ada ketenangan.
Ada kalanya kita menemukan diri kita berada dalam percakapan yang tidak
berujung. Kita mencoba menjelaskan
sesuatu dengan lembut dan logis, tetapi tanggapan yang kita terima hanyalah
kemarahan, tawa sinis, atau ejekan. Di
saat seperti itu, kita memahami betapa benarnya kata-kata Amsal 29:9.
Orang bijak boleh memiliki maksud baik, tetapi orang bodoh—yang menolak pengertian dan kebenaran—tidak tertarik mencari kebenaran; ia hanya ingin menang dalam debat atau melindungi egonya. Itulah sebabnya, hasil akhirnya bukanlah ketenangan, melainkan kekacauan batin bagi semua pihak.
Terlalu sering, kita merasa perlu membuktikan diri benar.
Dalam keluarga, pekerjaan, bahkan pelayanan, kita bisa tergoda untuk
mempertahankan pendapat seolah-olah kemenangan dalam argumen adalah tanda
kebenaran. Namun hikmat Alkitab
mengajarkan sesuatu yang berbeda: tujuan kita bukanlah memenangkan debat,
melainkan menjaga damai. Orang bijak
tidak mengukur keberhasilannya dari siapa yang lebih lantang, melainkan dari
siapa yang tetap tenang.
Yesus sendiri menjadi teladan tertinggi dalam hal ini. Ketika Ia dihadapkan pada orang-orang Farisi yang berdebat tanpa niat tulus, Ia seringkali tidak menjawab dengan panjang lebar. Ada kalanya Ia hanya menulis di tanah (Yohanes 8:6) atau menjawab dengan pertanyaan balik yang menyingkapkan hati mereka.
Tuhan Yesus mengerti bahwa berdebat dengan hati yang keras sama sia-sianya seperti menabur benih di atas batu. Yang dibutuhkan bukan argumen tambahan, tetapi perubahan hati — dan itu hanya bisa dilakukan oleh Roh Kudus, bukan oleh kecerdikan kata-kata manusia.
Dalam kehidupan modern, kita juga dihadapkan pada “arena debat” baru: media sosial.
Banyak orang bijak terjebak dalam perdebatan daring yang tidak berujung. Kata-kata yang awalnya dimaksudkan untuk
menolong sering berubah menjadi senjata untuk menjatuhkan. Di sinilah relevansi Amsal 29:9 terasa kuat:
tidak setiap perbantahan layak diteruskan, karena tidak semua orang ingin
mendengarkan. Hikmat menuntun kita untuk
tahu kapan berbicara, dan kapan berhenti berbicara.
Menarik bahwa ayat ini tidak berkata bahwa orang bodoh selalu marah; terkadang ia justru menertawakan. Artinya, ia bisa bereaksi ekstrem — dari agresif hingga sinis. Kedua reaksi itu menunjukkan ketidakmatangan rohani. Bagi orang bijak, kedua reaksi itu tidak seharusnya menjadi pemicu untuk membalas.
Sebaliknya, orang bijak tahu kapan untuk diam, karena diam bukan tanda lemah, tetapi tanda menguasai diri.
Menghindari perdebatan yang sia-sia bukan berarti menyerah pada kebenaran. Itu berarti kita mempercayakan kebenaran kepada Tuhan yang mampu bekerja lebih dalam daripada kata-kata kita. Ketika kita tidak terjebak dalam keinginan untuk membuktikan diri, kita membiarkan damai Kristus memerintah dalam hati kita. Dan ketika hati damai, roh kita tidak mudah tersulut oleh orang yang keras kepala.
Mungkin hari ini kamu sedang tergoda untuk “membalas” atau menjelaskan diri di hadapan seseorang yang tak mau mendengar. Ingatlah, tidak semua telinga siap menerima hikmat. Kadang cara terbaik untuk menunjukkan hikmat adalah dengan berjalan menjauh — bukan dalam keangkuhan, tetapi dalam ketenangan yang lahir dari kasih. Biarlah perkataanmu tetap penuh kasih, tetapi jika dialog berubah menjadi debat tanpa arah, berhentilah dengan tenang. Sebab dalam keheningan orang bijak, sering kali Tuhan berbicara paling jelas.
Hikmat sejati bukan hanya tahu apa yang benar, tetapi juga tahu kapan berhenti bicara. Dan dalam dunia yang ramai dengan suara dan argumen, keheningan yang dipenuhi kasih bisa menjadi kesaksian yang paling kuat.
Tidak setiap perdebatan membawa damai;
kadang diam adalah suara hikmat yang terdalam.
