Jangan Tambah Menekan

 Jangan Tambah Menekan



Amsal 30:33

"Sebab, kalau susu ditekan, mentega dihasilkan, dan kalau hidung ditekan, darah keluar, dan kalau kemarahan ditekan, pertengkaran timbul."



Amsal ini menyampaikan kebenaran yang sederhana namun sangat dalam: tekanan selalu menghasilkan sesuatu. Ketika susu ditekan, mentega muncul; ketika hidung ditekan, darah keluar; dan ketika kemarahan ditekan, pertengkaran meledak. 

Gambaran ini menggugah kita untuk berpikir — dalam relasi manusia, tekanan yang tidak terkendali akan melahirkan akibat yang tidak diinginkan.  Saat suasana sudah panas, menambah tekanan hanya akan memperparah keadaan.  Sama seperti kita tahu bahwa memukul hidung akan membuat darah keluar, demikian pula ketika kita menekan orang yang sedang marah, pertengkaran hampir pasti terjadi.

Sering kali kita lupa bahwa tidak semua situasi perlu dihadapi dengan reaksi keras. 

Kadang kita merasa perlu menegakkan “kebenaran” kita sendiri, tanpa menyadari bahwa cara kita justru memperkeruh suasana.  Kita ingin “menang” dalam perdebatan, padahal yang dibutuhkan bukan kemenangan, melainkan kedamaian.  Firman Tuhan melalui Amsal ini mengingatkan bahwa hikmat bukan hanya tahu kapan harus berbicara, tetapi juga kapan harus diam. 

Orang berhikmat tidak menambah tekanan ketika suasana sudah tegang, karena ia tahu, satu kata yang salah bisa menimbulkan luka yang lama sembuhnya.

Namun dalam kehidupan sehari-hari, ada saja orang yang justru senang menambah tekanan.  Mereka tampak menikmati ketika konflik terjadi — merasa puas saat melihat orang lain terpancing emosi.  Mungkin tanpa sadar, ada rasa ingin “menguasai” situasi dengan memprovokasi.  Tapi Alkitab menyebut sikap seperti ini sebagai jalan kebodohan, bukan jalan hikmat.  Sebab hasil akhirnya selalu sama: hubungan rusak, hati terluka, dan damai sejahtera hilang. 

Tidak ada yang menang dalam pertengkaran yang lahir dari amarah; yang ada hanyalah kehilangan sukacita.

Tuhan memanggil kita untuk berjalan di jalan yang berbeda — jalan kelemahlembutan dan penguasaan diri.  Hikmat sejati tidak memaksa keadaan, melainkan mengarahkan hati pada kedamaian.  Kadang, justru dengan menahan diri, kita menunjukkan kekuatan yang sesungguhnya.  Dunia mungkin melihatnya sebagai kelemahan, tetapi di mata Tuhan, itu adalah tanda kedewasaan rohani.  Orang yang mampu menahan diri di tengah tekanan menunjukkan bahwa ia dikuasai oleh Roh Kudus, bukan oleh emosinya.  Ia tidak perlu membalas setiap serangan, tidak perlu mempertahankan ego, karena ia tahu: kedamaian jauh lebih berharga daripada pembenaran diri.

Kita semua tahu betapa sering pertengkaran besar berawal dari hal kecil.  Satu komentar yang tajam, nada suara yang meninggi, atau sikap yang menyinggung bisa menjadi percikan kecil yang menyalakan api besar.  Di titik inilah kita diingatkan untuk berhati-hati. Perkataan memiliki kuasa untuk membangun atau menghancurkan.  Sekali kita melepaskan kata yang menekan, kita tidak bisa menariknya kembali.  Maka sebelum menambah tekanan, mari belajar menenangkan diri. 

Hikmat mengajarkan kita untuk berhenti sejenak, berdoa, dan membiarkan hati didinginkan oleh kasih Tuhan.

Yesus Kristus memberikan teladan sempurna.  Saat dihina, Ia tidak membalas.  Saat diprovokasi, Ia tidak terpancing.  Saat disalibkan, Ia tidak menekan balik mereka yang menekan-Nya, tetapi justru berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka.”  Dari-Nya kita belajar bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada kemampuan membalas, tetapi pada kerelaan mengampuni. 

Dunia membutuhkan lebih banyak orang yang memilih untuk meredakan, bukan menekan.  Karena meredakan kemarahan membutuhkan kasih, sementara menekan kemarahan hanya membutuhkan ego.

Firman ini menantang kita untuk menjadi pembawa damai.  Ketika suasana memanas — di rumah, di tempat kerja, atau bahkan di gereja — jangan tambah menekan.  Jadilah orang yang menenangkan, bukan memperkeruh.  Biarkan kehadiran kita menjadi seperti air yang memadamkan api, bukan bensin yang menyalakannya.  Damai sejahtera Kristus harus menjadi penguasa dalam hati kita, agar setiap respons yang keluar berasal dari kasih, bukan dari kemarahan.

Yesus berkata dalam Matius 5:9, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.”  Membawa damai tidak selalu berarti menghindari konflik, tetapi memilih untuk tidak memperburuknya.  Itu berarti hadir dengan sikap lembut, berbicara dengan kasih, dan menahan diri ketika emosi menguasai suasana.  Orang yang membawa damai bukanlah orang lemah, melainkan orang yang telah menang atas dirinya sendiri.

Maka, jangan tambah menekan. Saat keadaan mulai memanas, pilihlah untuk meredakan.  Saat kata ingin keluar dengan nada tinggi, tahan sejenak dan berdoalah.  Ingatlah, damai tidak hadir dari reaksi spontan, tetapi dari hati yang dikuasai Roh Kudus. 

Dunia mungkin tidak menghargai kelembutan, tetapi di mata Tuhan, setiap tindakan yang membawa damai adalah cermin kasih-Nya.  Mari hadir sebagai pembawa damai di mana pun kita berada, sebab dari kitalah dunia dapat mengenal kelembutan dan kasih Kristus yang sejati.



Lebih mulia meredakan api kecil
daripada meniupnya hingga menjadi kebakaran besar.


Lukas Onggo Wijaya

A Happy learner, a happy reader, and a happy writer

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Recent in Technology