Langkah Kecil Menuju Kehancuran
Amsal 7:6-9
6 Karena ketika suatu waktu aku melihat-lihat, dari kisi-kisiku, dari jendela rumahku,
7 kulihat di antara yang tak berpengalaman, kudapati di antara anak-anak muda seorang teruna yang tidak berakal budi,
8 yang menyeberang dekat sudut jalan, lalu melangkah menuju rumah perempuan semacam itu,
9 pada waktu senja, pada petang hari, di malam yang gelap.
Pemandangan dari jendela itu terasa begitu nyata: dari balik kisi-kisi, seorang saksi melihat seorang teruna melangkah ke arah yang salah. Ia tidak sedang berlari; ia hanya menyeberang dekat sudut jalan.
Namun di situlah awal dari banyak kejatuhan terjadi—bukan pada lompatan besar, melainkan pada langkah-langkah kecil yang terlihat sepele.
“Dekat sudut” adalah metafora dari kedekatan yang kita izinkan dengan bahaya moral: kita tidak masuk, hanya mendekat; kita tidak melakukan, hanya melintas; kita tidak berniat jatuh, hanya ingin tahu.
Tetapi kedekatan menumpulkan kewaspadaan, dan rasa ingin tahu yang tak dijaga sering mengantar pada pintu yang salah.
Istilah “teruna yang tidak berakal budi” mengajak kita bercermin. Walau masa muda sering identik dengan energi, spontanitas, dan keberanian mencoba hal baru. Semua itu anugerah—tetapi tanpa hikmat, anugerah bisa berubah menjadi celah. Ketika identitas belum matang dan disiplin batin belum terbentuk, kelekatan pada dorongan sesaat terasa lebih kuat daripada kesetiaan pada prinsip.
Di sinilah Amsal berbicara: kebijaksanaan bukan hanya tentang mengetahui ajaran yang benar, tetapi tentang menata langkah—arah, tempat, dan waktu
Arah: teruna itu “melangkah menuju rumah perempuan semacam itu.” Kita pun sering tahu arah yang kita pilih, hanya saja kita menamai ulang agar terasa aman: “hanya bercanda,” “hanya melihat,” “hanya sebentar.” Tetapi arah yang konsisten, betapapun lambat, pasti mengantar pada tujuan.
Tempat: ia “menyeberang dekat sudut jalan.” Sudut adalah area ambang—tidak di dalam, tidak sepenuhnya di luar. Di era digital, “sudut” itu bisa berupa akun yang memancing fantasi, percakapan privat yang menggoda, atau kebiasaan konsumsi konten yang samar-samar. Waktu: “senja—petang—malam yang gelap.” Gambaran ini bukan sekadar jam, tetapi kondisi batin: ketika terang komitmen mulai meredup, pembenaran diri bertambah, dan akhirnya hati menjadi gelap sehingga benar dan salah terasa relatif.
Renungan ini mengingatkan bahwa benteng kekudusan jarang direbut dalam satu serangan frontal; ia runtuh bata demi bata melalui kebiasaan-kebiasaan kecil yang dibiarkan.
Karena itu, strategi rohani yang sehat bukan hanya “katakan tidak pada dosa,” tetapi “katakan tidak lebih awal.” Letakkan jarak. Pindahkan jalur. Ganti ritme harian. Doa tidak menggantikan disiplin, dan disiplin tidak menggantikan anugerah—keduanya berjalan bersama. Anugerah memampukan; disiplin menata langkah.
Bagaimana menerapkannya?
Pertama, kenali “sudut-sudut
jalan” pribadi: situasi, tempat, jam, atau perangkat yang menjadi gerbang bagi
kompromi. Tulis dan akui di hadapan
Tuhan; terang pengakuan melemahkan daya tarik gelap.
Kedua, atur ulang rute: bila perjalanan pulang yang biasa melewati “sudut” itu, carilah rute lain—secara harfiah maupun rohani.
Ketiga, perkuat jam-jam senja: saat energi menurun dan pengawasan diri melemah, berdoa, membaca firman, dan beristirahatlah.
Keempat, hadirkan komunitas: jendela Amsal menandakan sudut pandang orang lain. Kita butuh mata saudara seiman yang dapat mengatakan, “Arahmu menuju sana—berpalinglah sekarang.”
Di atas semuanya, ingatlah bahwa Kristus, Sang Terang, datang ketika kita sudah berada “di malam yang gelap.” Ia tidak sekadar memanggil kita menjauhi sudut; Ia menuntun kita kembali ke jalan kehidupan. Di dalam Dia, masa lalu tidak mengutuk, tetapi meneguhkan tekad baru; kelemahan tidak mengalahkan, tetapi mengajarkan ketergantungan.
Maka jika hari ini engkau merasa sudah terlalu dekat, bahkan sudah melangkah, kembalilah. Berhentilah di mana engkau berada, berserulah, dan biarkan Firman menerangi kakimu. Lebih baik pulang di senja hari daripada hilang di malam yang gelap.
Hikmat tidak hanya soal menolak dosa, tetapi mau menjauh dari sudut yang mengantarnya.
