Ketika Pengetahuan
Dimulai dari Penyembahan
Amsal 1:7
Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.
Segala sesuatu yang berharga memiliki awal yang benar. Sebuah rumah yang kokoh tidak dimulai dari
atap yang indah, tetapi dari fondasi yang kuat. Demikian pula kehidupan yang bijaksana tidak
dimulai dari gelar, pengalaman, atau harta, melainkan dari hati yang takut akan
Tuhan.
Amsal 1:7 menegaskan bahwa “takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan.” Ini bukan sekadar sebuah pernyataan teologis, tetapi sebuah undangan untuk membangun hidup di atas dasar yang benar.
“Takut akan Tuhan” sering disalahpahami sebagai rasa takut yang membuat manusia menjauh dari Allah. Namun di sini, takut berarti hormat, kagum, tunduk, dan percaya penuh kepada-Nya. Ini adalah kesadaran bahwa Allah itu kudus, dan kita bergantung sepenuhnya pada-Nya. Inilah sikap hati yang membuka jalan bagi hikmat sejati.
Sebab seseorang tidak dapat sungguh mengenal hidup jika ia belum mengenal Sang Pemberi hidup.
Kita hidup di zaman yang menyanjung pengetahuan, tetapi sering kali melupakan hikmat. Banyak orang tahu banyak hal, namun kehilangan arah moral dan spiritual. Informasi mudah didapat, tetapi pengertian rohani semakin langka. Manusia modern mungkin tahu cara menciptakan teknologi canggih, namun sering gagal membangun relasi yang sehat atau menjaga hati yang murni. Tanpa rasa takut akan Tuhan, pengetahuan menjadi kosong—karena tidak memiliki nilai kekal.
Amsal menyebut mereka yang menolak hikmat sebagai “orang bodoh.” Mereka bukan bodoh secara intelektual, melainkan secara moral dan rohani. Mereka bisa saja berpendidikan tinggi, tetapi menolak disiplin, teguran, dan nilai-nilai Tuhan. Dalam pandangan Alkitab, kebodohan bukan soal IQ, tetapi soal sikap hati. Orang bodoh adalah mereka yang merasa tidak membutuhkan Tuhan dalam keputusan mereka. Sebaliknya, orang berhikmat mengakui bahwa tanpa Tuhan, semua keberhasilan hanyalah kesia-siaan.
Takut akan Tuhan membawa seseorang kepada kerendahan hati. Ia menyadari keterbatasannya dan membuka hati untuk belajar. Ia mau ditegur, mau diarahkan, dan mau dibentuk. Sebaliknya, kesombongan menutup pintu bagi pertumbuhan rohani. Itulah sebabnya permulaan pengetahuan bukanlah ketika kita merasa tahu segalanya, tetapi ketika kita berkata, “Tuhan, ajarilah aku.”
Inilah awal dari perubahan sejati—ketika hati manusia kembali tunduk kepada Penciptanya.
Dalam kehidupan sehari-hari, takut akan Tuhan bisa diwujudkan dengan sederhana: jujur ketika tidak ada yang melihat, menepati janji meski sulit, menjaga hati agar bersih, dan menolak kompromi meski ada keuntungan pribadi. Semua itu lahir bukan dari rasa takut akan hukuman, melainkan dari kasih dan hormat kepada Tuhan yang kudus. Ketika rasa takut yang kudus itu memimpin hidup kita, maka setiap keputusan, relasi, dan pekerjaan menjadi sarana untuk memuliakan-Nya.
Jadi, hikmat tidak akan datang kepada hati yang keras, tetapi kepada hati yang berserah.
Dunia mungkin mengukur pengetahuan dari berapa banyak yang kita tahu, tetapi Tuhan mengukurnya dari berapa dalam kita mengenal Dia. Mulailah setiap hari dengan doa sederhana: “Tuhan, ajarku untuk takut akan Engkau.” Sebab dari sanalah hikmat sejati bertumbuh—dan dari sanalah kehidupan kita menemukan makna yang sesungguhnya.
"Rahasianya bukanlah belajar lebih banyak, tetapi mengenal Tuhan lebih dalam."
