Kenyang yang Kehilangan Selera
Amsal 27:7
Orang yang kenyang menginjak-injak sarang madu, tetapi bagi orang yang lapar, segala yang pahit pun manis rasanya.
Ada kontras tajam antara dua
kondisi hati manusia: kenyang dan lapar. Bukan sekadar tentang makanan, tetapi tentang
rasa puas dan rasa haus yang lebih dalam—kerinduan jiwa.
Amsal 27:7 mengajarkan bahwa kepuasan yang berlebihan bisa membuat seseorang kehilangan rasa syukur dan kepekaan terhadap hal-hal berharga, sementara kekurangan bisa membuat seseorang menghargai bahkan hal-hal sederhana.
Kenyang di sini melambangkan orang yang sudah merasa cukup, bukan hanya secara materi, tapi juga secara rohani.
Ia mungkin tidak lagi haus akan
Tuhan, tidak lagi bergairah untuk mencari firman, atau melayani sesama. Segala sesuatu terasa biasa, bahkan hal-hal
yang manis seperti penyembahan, doa, atau kasih persaudaraan pun tak lagi
menarik. Ia “menginjak-injak sarang
madu”—menolak sesuatu yang seharusnya menjadi sumber sukacita rohani.
Keadaan ini berbahaya, karena kepuasan yang salah dapat membuat hati menjadi tumpul. Ia tidak lagi merasakan manisnya hadirat Tuhan, sebab ia merasa “sudah cukup baik”.
Sebaliknya, orang yang lapar, justru menemukan keindahan bahkan dalam hal-hal pahit.
Ia mungkin sedang dalam masa
sulit, tetapi justru di sanalah ia menemukan rasa manis dalam kehadiran Tuhan. Setiap berkat kecil terasa besar, setiap
teguran menjadi pelajaran, setiap doa yang dijawab menjadi sukacita yang
mendalam.
Akibatnya: Orang yang lapar akan Tuhan tidak mengeluh tentang kekurangan, karena hatinya dipenuhi oleh rasa haus yang benar—kerinduan akan hadirat dan kasih Allah.
Tuhan Yesus berkata dalam Matius 5:6, “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.” Ini bukan janji bagi mereka yang sudah puas, melainkan bagi mereka yang terus merindukan. Orang yang lapar rohani tahu bahwa setiap hari ia membutuhkan Tuhan. Ia tidak merasa cukup dengan pengalaman masa lalu atau pengetahuan rohani yang lama. Ia mencari perjumpaan baru dengan Allah setiap hari. Dalam setiap ibadah, ia datang dengan hati yang terbuka; dalam setiap doa, ia membawa kerinduan yang segar.
Namun, menjadi “lapar” tidak berarti hidup dalam kekosongan yang menyedihkan. Justru kelaparan rohani adalah tanda kehidupan. Orang yang hidup pasti lapar; hanya yang mati yang tidak merasa apa-apa lagi. Jadi, ketika kita merasa haus akan kebenaran, rindu untuk dekat dengan Tuhan, atau gelisah karena tidak menemukan kedamaian, jangan padamkan rasa itu. Biarkan itu menuntun kita kembali kepada Sumber yang sejati.
Sebaliknya, jika kita merasa
“kenyang” dalam hal-hal rohani—tidak lagi tertarik berdoa, membaca firman, atau
bersekutu—mungkin saatnya kita memeriksa kembali isi hati. Apakah kita telah mengisi diri dengan hal-hal
dunia sehingga kehilangan rasa terhadap hal-hal rohani?
Kepuasan semu dari kesuksesan, kenyamanan, dan hiburan bisa membuat kita kehilangan selera terhadap hal-hal surgawi.
Di titik itulah kita perlu berdoa seperti pemazmur: “Bangkitkanlah lagi dalam aku kerinduan akan Engkau, ya Tuhan.” Rasa lapar adalah anugerah. Tuhan memakainya untuk menarik kita mendekat kepada-Nya. Dan justru di saat kita merasa “lapar”—saat doa terasa berat, saat iman diuji, saat hidup terasa pahit—kita bisa menemukan manisnya penyertaan Tuhan yang nyata. Seperti madu di tengah gurun, kasih-Nya memuaskan jiwa yang merindukan Dia.
Biarlah hari ini kita memeriksa hati: apakah kita masih lapar akan Tuhan, atau sudah kenyang oleh dunia? Sebab bagi yang lapar, bahkan hal pahit pun bisa menjadi manis, karena di dalam setiap keadaan, Tuhan sedang bekerja menghadirkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi-Nya.
"Rasa lapar rohani adalah tanda kehidupan.
Hanya yang hidup yang masih merindukan Tuhan."
