Kehormatan yang Salah Tempat
Amsal 26:1
Seperti salju di musim panas dan hujan pada waktu panen, demikianlah kehormatan yang tidak layak bagi orang bodoh.
Kehormatan adalah sesuatu yang
indah bila diberikan pada tempatnya. Namun,
Amsal 26:1 menggambarkan betapa kacau hasilnya bila kehormatan jatuh ke tangan
yang salah.
Salju di musim panas akan merusak tanaman, dan hujan di waktu panen akan menghancurkan hasil yang siap dituai. Begitu pula ketika orang bodoh menerima kehormatan — bukan hanya tidak pantas, tapi juga bisa membawa kerusakan.
Ayat ini mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam menilai siapa yang layak dihormati, dan untuk waspada saat kita sendiri menerima kehormatan.
Dalam dunia yang serba cepat dan penuh pencitraan, kehormatan sering diberikan bukan karena kebijaksanaan, tetapi karena ketenaran, kekayaan, atau kemampuan menarik perhatian.
Orang yang bodoh bisa menjadi idola, bukan karena kebenarannya, tapi karena keberaniannya menentang nilai-nilai yang benar. Namun, hikmat Tuhan mengingatkan bahwa kehormatan sejati tidak pernah sejalan dengan kebodohan. Sebab kehormatan tanpa karakter adalah bencana yang sedang menunggu waktunya untuk meledak.
Kehormatan yang salah tempat bukan hanya menyesatkan si penerima, tetapi juga mereka yang memberi. Saat masyarakat menghormati orang bodoh, maka kebodohan akan dianggap sebagai kebijaksanaan baru. Standar moral pun kabur, dan apa yang salah mulai tampak benar. Inilah mengapa Firman Tuhan mengajarkan agar kita menilai segala sesuatu dengan mata hikmat, bukan dengan mata dunia.
Dunia memuja yang populer, tetapi Tuhan meninggikan yang rendah hati.
Maka: Kita pun perlu berhati-hati saat menerima penghargaan atau pujian. Apakah kita menerimanya karena memang layak, atau karena kebetulan dunia sedang menyoroti kita? Kehormatan yang datang tanpa pengujian bisa menjadi jebakan bagi hati. Orang yang tidak siap secara rohani bisa terperangkap dalam kesombongan dan lupa bahwa setiap hal baik berasal dari Tuhan.
Ketika kita terlalu menikmati tepuk tangan manusia, kita perlahan kehilangan kepekaan terhadap tepukan lembut Tuhan yang menuntun kita ke jalan yang benar.
Orang bodoh, menurut Amsal, bukan
sekadar mereka yang kurang pengetahuan, melainkan mereka yang menolak dididik. Ia tidak mau belajar, tidak mau dikoreksi, dan
merasa tahu segalanya. Jika orang
seperti ini diberi kehormatan, maka kehormatan itu akan memperkuat
kebodohannya. Ia akan merasa benar,
semakin keras kepala, dan menolak nasihat yang membawa kehidupan. Seperti hujan di musim panen, kehormatan itu
akan merusak hasil baik yang sedang dikerjakan oleh orang berhikmat.
Namun, ayat ini juga mengundang
kita untuk bercermin.
Pernahkah kita mencari kehormatan lebih daripada kebenaran?
Pernahkah kita merasa kecewa
karena tidak diakui, padahal Tuhan memanggil kita untuk setia tanpa perlu
dilihat?
Firman ini menegur kita untuk tidak mengejar kehormatan, tetapi untuk membangun karakter yang pantas dihormati. Sebab ketika hidup kita berakar dalam hikmat dan takut akan Tuhan, kehormatan akan datang pada waktunya — bukan karena kita mencarinya, tapi karena Tuhan yang memberikannya.
Hikmat sejati tidak berusaha memuliakan diri, melainkan memuliakan Tuhan. Orang berhikmat tidak sibuk mencari tempat tinggi, karena ia tahu bahwa yang meninggikan adalah Allah sendiri. Sebaliknya, orang bodoh berjuang keras untuk dihormati, padahal kehormatan yang tidak layak hanya akan mempermalukan dirinya sendiri.
Maka, lebih baik kita hidup dalam kerendahan hati yang berkenan di hadapan Tuhan, daripada menuntut kehormatan yang akan runtuh bersama kesombongan.
Di tengah dunia yang gemar menyanjung hal-hal dangkal, kita dipanggil untuk menjadi umat yang menghormati nilai-nilai surgawi. Mari belajar menghargai orang yang setia, bukan yang hanya populer. Menghormati yang berhikmat, bukan yang paling keras bersuara. Dan saat kita sendiri menerima kehormatan, biarlah itu menjadi kesempatan untuk memuliakan Tuhan, bukan diri sendiri. Sebab kehormatan sejati bukanlah milik yang bodoh, melainkan hadiah bagi yang rendah hati dan berhikmat.
“Kehormatan sejati bukan dicari,
tetapi diberikan Tuhan kepada mereka yang hidup
dalam hikmat dan kerendahan hati.”
