Hikmat di Persimpangan Hidup

Hikmat di Persimpangan Hidup



Amsal 8:1-5

“Bukankah hikmat berseru-seru, dan kepandaian memperdengarkan suaranya? Di atas tempat-tempat yang tinggi di tepi jalan, di persimpangan jalan-jalan ia berdiri; di samping pintu-pintu gerbang, di mulut kota, pada jalan masuk ia berseru-seru: Hai orang-orang yang tak berpengalaman, marilah, dengarkanlah! Hai orang bebal, perolehlah pengertian!”



Setiap orang pasti pernah sampai pada persimpangan hidup — titik di mana kita harus memilih arah, mengambil keputusan, dan menentukan langkah selanjutnya.  Mungkin itu keputusan tentang pekerjaan, hubungan, pelayanan, atau masa depan.

Di titik-titik inilah Amsal 8 menjadi sangat relevan, sebab hikmat Tuhan digambarkan bukan sebagai sesuatu yang misterius dan tersembunyi, melainkan sebagai suara yang berseru dengan jelas di persimpangan jalan.  Hikmat Tuhan tidak bersembunyi di tempat rahasia, tetapi berseru dari tempat yang tinggi agar semua orang mendengarnya.

Ayat ini menegaskan bahwa hikmat Tuhan terbuka untuk semua orang, bukan hanya bagi segelintir orang suci atau rohaniwan.  Ia berseru di tempat umum — di jalan, di pintu gerbang kota, di persimpangan jalan — tempat di mana banyak orang berlalu-lalang.   Dengan kata lain, hikmat hadir di tengah kehidupan sehari-hari. 

Tuhan ingin agar setiap orang memiliki pengertian rohani, bukan sekadar pengetahuan duniawi. 

Suara hikmat masih bergema hingga hari ini, melalui firman yang kita baca, suara hati yang diinsafkan Roh Kudus, teguran yang lembut, bahkan nasihat dari orang-orang yang takut akan Tuhan.

Namun sayangnya, tidak semua orang mau mendengar.  Kita sering kali terlalu sibuk dengan agenda dan ambisi pribadi, hingga melewati persimpangan tanpa berhenti mendengarkan suara Tuhan.  Kita tergesa-gesa membuat keputusan, yakin bahwa kita tahu yang terbaik.  Padahal di setiap jalan yang bercabang, hikmat selalu berseru: “Pilihlah jalan-Ku, bukan jalanmu.”  Tetapi hikmat tidak memaksa.  Ia tidak berteriak untuk menakut-nakuti, melainkan memanggil dengan sabar — menunggu kita untuk berhenti, menengadah, dan mendengar.

Hikmat juga digambarkan berdiri di “pintu gerbang” kota.  Di zaman dahulu, pintu gerbang adalah tempat di mana keputusan penting dibuat — tempat para tua-tua kota duduk untuk mengadili perkara dan mengambil kebijakan.  Ini melambangkan bahwa hikmat Tuhan bukan hanya dibutuhkan di ruang pribadi, tetapi juga di area publik.  Hidup berhikmat tidak hanya tentang doa pribadi yang khusyuk, tetapi juga tentang bagaimana kita memperlakukan orang lain, bagaimana kita bekerja dengan jujur, dan bagaimana kita menegakkan kebenaran di masyarakat.  

Hikmat harus tampak dalam cara kita berbicara, bersikap, dan mengambil keputusan dalam setiap tanggung jawab yang dipercayakan Tuhan kepada kita.

Lebih jauh lagi, hikmat juga berseru di “jalan masuk” — tempat seseorang memulai langkah baru.  Ini menggambarkan panggilan hikmat di awal perjalanan: sebelum memulai sesuatu, hikmat Tuhan sudah menanti di depan untuk menjadi fondasi.  Sebelum memasuki hubungan, karier, atau pelayanan, hikmat sudah memanggil kita untuk memastikan bahwa dasar yang kita pijak adalah kehendak Allah.  

Terlalu sering kita meminta hikmat setelah semuanya terlanjur rumit, padahal Tuhan telah menawarkan hikmat-Nya sejak awal. Bila kita mau mendengar sebelum melangkah, banyak kesesatan dan penyesalan bisa dihindari.

Tuhan tidak pernah menyembunyikan hikmat-Nya dari umat-Nya. Masalahnya bukan pada volume suara hikmat, melainkan pada kebisingan hati kita. 

Dunia berbicara dengan suara yang keras — suara popularitas, kesuksesan instan, dan kesenangan diri.  Semua itu bisa dengan mudah menutupi suara lembut hikmat Tuhan yang memanggil dari hati yang tenang.  Karena itu, untuk mendengar hikmat, kita perlu belajar diam di hadapan Tuhan, menundukkan hati, dan membuka telinga rohani.  Firman Tuhan bukan hanya petunjuk arah, melainkan juga pelindung agar kita tidak tersesat di jalan yang tampak menarik namun berujung kehancuran.

Amsal 8 menggambarkan hikmat sebagai pribadi yang aktif memanggil.  Ia tidak bersembunyi di balik misteri, melainkan turun ke jalanan kehidupan kita yang nyata.  Hikmat memanggil para “orang yang tak berpengalaman” dan “orang bebal” — artinya, hikmat tidak menunggu orang sempurna untuk datang, tetapi memanggil siapa pun yang mau belajar. 

Ini kabar penuh kasih: siapa saja yang mau rendah hati untuk mendengar, akan diberi pengertian.  Hikmat sungguh bukan soal kecerdasan, tetapi soal kerendahan hati untuk membiarkan Tuhan menuntun arah hidup.

Karena itu, renungkanlah: di tengah banyaknya pilihan dan kebisingan hidup, apakah kita masih mendengar suara hikmat itu?  Hikmat tidak jauh, tidak samar, dan tidak asing.  Ia berdiri di tempat yang tinggi, berseru di tempat ramai, menunggu hati yang mau berhenti sejenak dan mendengarkan.  Tuhan tidak pernah berhenti berbicara; yang Ia tunggu adalah telinga yang mau mendengar dan hati yang mau taat.

Setiap persimpangan hidup adalah undangan untuk mendengar suara hikmat.  Maka sebelum melangkah, tenangkan hati, dengarkan dengan saksama, dan biarkan firman Tuhan menuntun arah langkahmu.  Sebab mereka yang berjalan bersama hikmat tidak akan tersesat, melainkan menemukan kehidupan yang penuh damai dan terang di setiap jalan yang dipilihnya.


“Hikmat tidak jauh, tidak samar, dan tidak asing.
Tinggal kita bersedia mendengarnya atau tidak.”


Lukas Onggo Wijaya

A Happy learner, a happy reader, and a happy writer

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Recent in Technology