Menghargai Hikmat, Memuliakan Hidup

Menghargai Hikmat, Memuliakan Hidup



Amsal 4:7-8

Permulaan hikmat ialah: perolehlah hikmat, dan dengan segala yang kau peroleh perolehlah pengertian. Tinggikanlah dia, maka ia akan meninggikan engkau; peluklah dia, maka ia akan memuliakan engkau.




Hidup sering kali diwarnai dengan berbagai pencarian.  Ada yang mengejar karier, ada yang mengejar kekayaan, ada yang mengejar pengakuan.  Semua itu tampak wajar, sebab manusia memang cenderung ingin mencapai sesuatu yang dianggap bernilai.

Namun, Amsal 4:7–8 mengarahkan fokus kita kepada pencarian yang jauh lebih berharga dari semua itu — yaitu hikmat.

Ketika Salomo menulis ayat ini, ia sedang mengingat ajaran ayahnya, Daud.  Ia menekankan bahwa inti dari kehidupan yang berhasil bukanlah banyaknya pengetahuan, melainkan kemampuan untuk menata hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.  Hikmat yang sejati bukanlah hasil dari sekolah atau pengalaman semata, melainkan hasil dari relasi yang intim dengan Tuhan, sumber segala pengertian.

Karena itu, Salomo berkata bahwa “permulaan hikmat ialah: perolehlah hikmat.” Seolah-olah ia berkata, “Kalau engkau ingin hidup benar-benar berhasil, mulailah dengan menaruh hikmat di tempat pertama dalam daftar prioritasmu.”

Menarik bahwa Salomo menggunakan kata “perolehlah” dua kali.  Ini menunjukkan betapa pentingnya tindakan aktif. 

 

Hikmat tidak datang dengan pasif atau kebetulan.  Ia harus dicari, diperjuangkan, dan dihargai.

Orang yang malas tidak akan mendapatkan hikmat, sebab hikmat bukan hadiah bagi yang acuh, melainkan upah bagi yang tekun mencari Tuhan.  Ada harga yang harus dibayar untuk memperoleh hikmat — mungkin waktu, kesenangan, atau bahkan kenyamanan pribadi. Tetapi setiap pengorbanan itu tidak pernah sia-sia.

Ayat berikutnya berbicara tentang hasilnya: “Tinggikanlah dia, maka ia akan meninggikan engkau.” Di sini terdapat prinsip rohani yang mendalam — apa pun yang kita tinggikan dalam hidup, pada akhirnya akan menentukan ke mana hidup kita diarahkan.  Jika kita meninggikan hikmat, maka hikmat akan membawa kita kepada kemuliaan.  Tetapi jika kita meninggikan hal-hal duniawi, seperti uang atau prestise, maka kita akan berakhir di bawah bayang-bayang hal-hal itu.

Hikmat, ketika dihormati, memiliki kekuatan untuk meninggikan kehidupan kita — bukan dalam arti kedudukan duniawi semata, melainkan dalam arti martabat rohani yang sejati: hidup yang penuh integritas, kebijaksanaan, dan kasih.

 

Ungkapan “peluklah dia” memberi kesan yang sangat personal.  Hikmat bukan sekadar ide, melainkan sahabat dan penuntun yang harus dipeluk erat.  Dalam pelukan hikmat, hidup menjadi lebih stabil di tengah badai keputusan yang sulit.  Dalam pelukan hikmat, kita belajar menahan diri ketika ingin marah, kita belajar berbicara dengan kasih ketika terluka, dan kita belajar berjalan lurus ketika dunia mengajak berbelok. 

Memeluk hikmat berarti menjadikan kebenaran Tuhan bagian dari diri kita yang paling dalam.

Mungkin dalam perjalanan hidup, kita pernah merasa gagal, kehilangan arah, atau mengambil keputusan yang salah.  Namun kabar baiknya: hikmat Tuhan selalu dapat ditemukan oleh mereka yang dengan rendah hati mencarinya kembali.  Hikmat tidak menolak orang yang datang dengan hati yang jujur.  Tuhan dengan lembut menuntun mereka yang mau belajar, walau dari kesalahan.

Hikmat yang sejati tidak akan membawa kita jauh dari dunia, tetapi justru menolong kita untuk hidup dengan benar di dalam dunia.  Ia menuntun cara kita bekerja, berbicara, memperlakukan orang lain, dan mengelola waktu. Ketika kita belajar meninggikan hikmat di atas ambisi pribadi, hidup kita akan mulai mencerminkan kemuliaan Tuhan.

 

Dan seperti janji Amsal, hikmat itu akan “memuliakan” kita — bukan karena kita luar biasa, melainkan karena kita hidup dalam kebijaksanaan dan kebenaran yang berasal dari Allah sendiri.

Kiranya pada hari ini, kita semua kembali meninjau ulang apa yang kita kejar dalam hidup. Apakah kita benar-benar mencari hikmat Tuhan?  Apakah keputusan-keputusan kita lahir dari hati yang takut akan Tuhan atau hanya dari logika manusia?

Saat kita memilih untuk “memperoleh” hikmat dan “memeluk”nya, kita sedang menempuh jalan menuju kehidupan yang ditinggikan — bukan oleh manusia, tetapi oleh Tuhan sendiri.

Ketika engkau meninggikan hikmat,
hidupmu akan ditinggikan bersama kemuliaan Tuhan.

Lukas Onggo Wijaya

A Happy learner, a happy reader, and a happy writer

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Recent in Technology